Pages

Alexander the great, The Godfather and The Mastermind of Old Trafford’s Clan


PENULIS : Satya Anindita ( 2011 )

“Kebanyakan anak laki-laki di Govan yang seangkatan dengan saya, hidupnya berakhir di penjara atau jadi pemabuk,”

“Saya yakin pekerjaan sebagai buruh pabrik telah membantu saya untuk bisa menjadi seperti sekarang ini. Masa –masa itu membuat saya memahami nilai-nilai yang ada di konsep kerja tim”

(Alex Ferguson’s Autobiography , Managing My Life : 1999 )

Sir Alexander Chapman "Alex" Ferguson, CBE ; lebih dikenal dengan nama Sir Alex atau Fergie ; adalah manajer terlama dan tersukses sepanjang sejarah Manchester United. Meskipun Fergie merupakan figur yang kontroversial di dalam sepakbola, di sisi lain dia adalah salah satu manajer Sepakbola tersukses sepanjang masa . Fergie sudah memenangi total 46 trophy dari semua kejuaraan di tingkat Lokal atau Internasional bersama klub dari Inggris ataupun Skotlandia .

Pencapaian pria dari Govan tersebut , membuat banyak praktisi atau pimpinan bisnis dari berbagai perusahaan tertarik untuk mempelajari resep kesuksesan maupun pendekatan manajemen ala Alex Ferguson . Rasanya , tinggal menunggu waktu saja untuk melihat patung Alex Ferguson berdiri di luar Stadion Old Trafford , bersebelahan dengan patung Sir Matt Busby .

Sebagai seorang Manajer , Alex Ferguson dikenal dengan komitmen rencana jangka panjang di tengah industri sepakbola yang banyak melegalkan cara instant atau rencana jangka pendek . Di samping itu , kemampuan untuk memotivasi bawahan alias pemain , sekaligus penekanan terhadap kerjasama tim merupakan keunggulan Fergie , dimana harmonisasi diantara pemain jauh lebih penting daripada ekslusivitas salah satu pemain bintang .

Pola asuh , dan cara menangani Manajemen Konflik di suatu klub Sepakbola banyak dilatarbelakangi oleh beberapa faktor . Faktor tersebut adalah lingkungan dimana Fergie dibesarkan , karakter atau tingkah laku Fergie semasa remaja , pola asuh orang tua Fergie dan pola hubungan kekeluargaan yang erat , pengalaman selama menjadi pesepakbola amatir dan profesional , maupun transfer ilmu dari pelatih yang lebih berpengalaman seperti dalam sosok Jock Stein .

I . Latar Belakang Keluarga , Kehidupan Masa Remaja , dan Pengalaman Berkarir Menjadi Pesepakbola

I.1. Latar Belakang Keluarga dan Lingkungan Tempat Fergie Tinggal

Fergie, sapaan Sir Alex Ferguson, lahir dari ayah seorang buruh galangan kapal , dengan nama Alexander Beaton Ferguson. Ibunya, Elizabeth Hardie, juga seorang buruh pekerja pabrik. Kalo belakangan Fergie kecil sangat menyukai si kulit bundar, itu karena ayahnya adalah fans berat Glasgow Celtic, salah satu club sepak bola favorit di Skotlandia.

Perhatian besar sang Ayah terhadap sepak bola jelas menurun pula ke diri Fergie. Ini terlihat jelas ketika Fergie divonis tidak boleh melanjutkan sekolah umum ketika berusia 16 tahun. Pada ujian tingkat akhir , Fergie gagal total.

Inilah yang memaksa Fergie meninggalkan bangku sekolah umum dan mengambil sekolah kejuruan. Saran untuk mengasah skill di sekolah kejuruan untuk bisa mendapat pekerjaan , tidak ditanggapi oleh Fergie secara serius , dan sebaliknya Fergie justru memantapkan niatnya untuk berkarir disepak bola.

Kegagalan tersebut , di sisi lain merupakan salah satu pengaruh buruk dari lingkungan tempat tinggal yang didominasi kaum buruh. Lingkungan tempat tinggal Fergie dimasa kecil hingga beranjak remaja termasuk paling buruk di seantero Skotlandia. Begitu parahnya sampe nyaris tidak ada satupun orang dewasa yang taat hukum.

Begitu juga dengan sekolah pertama Fergie. Broomloan Road Primary dinobatkan sebagai sekolahan yang paling buruk di kota Skotlandia. Kehidupan serba keras yang dialami kaum pekerja berdampak pula terhadap keluarga Fergie . Beruntung sekali , Ayah dan Ibu Fergie termasuk sosok yang perhatian terhadap anak- anaknya .

I.2. Kebandelan Fergie di Masa Remaja

Ada beberapa kenakalan Fergie di masa remaja , dan hal ini disebabkan oleh rasa ingin tahu yang demikian besar . Karena faktor ini , pernah suatu waktu Fergie beserta beberapa temannya mengunjungi tempat tongkrongan orang dewasa dikotanya bernama Docherty’s Snooker Hall.

Saat sedang bercengkrama di dalam Snooker Hall tadi , dua orang remaja menawari mereka minuman yang kelihatan beralkohol, dan ternyata isinya adalah air seni. Balas dendam yang dirancang Fergie cukup kejam. Muka kedua remaja tadi dilempar dengan bola snooker yang berakibat cukup parah.

Keterlibatan Fergie dalam dalam keributan tidak cuma sekali itu aja. Pernah satu kali yang terjadi pada adiknya, Martin. Itu karena sifat Fergie sendiri yang selalu keterlaluan saat bercanda dengan adiknya . Meski sudah beberapa kali di marahi oleh ibunya, tetap aja Fergie tidak berubah. Suatu waktu adiknya menanggapi tingkah usil Fergie dengan memukulnya di dada memakai besi panas. Hingga sekarang cacat bekas lukanya masih membekas dan membuat Fergie selalu teringat masa –masa kenakalannya.

Selain di jalanan atau dirumah, Fergie ternyata juga nakal disekolah. Satu contoh adalah saat Fergie memecahkan kaca jendela gymnasium sekolahannya. Kenakalan lainnya di sekolah adalah sering mencontek saat ujian.

I.3 . Pengalaman Menjadi Pesepakbola Amatir dan Profesional

Kecermelangan Fergie sebagai pemain bola sebenarnya udah terlihat sejak masih level pemain junior. Saat bergabung dengan tim sekolahan Govan High, dirinya selalu dianggap sebagai pahlawan tim. Kemudian saat mulai menjalani karir amatir, bersama ketiga orang karibnya, Duncan Petersen, Tommy Hendry dan Jim McMillan, dijuluki sebagai The Four Musketeers karena kelihaiannya di lapangan hijau.

Karir Fergie sebagai pemain professional nyaris mencapai puncaknya saat masuk ke dalam tim Dunfermline. Pada musim kompetisi 1964 – 1965, tim ini nyaris berhasil menjadi juara Skotlandia. Hanya saja waktu itu manager tim merasa mempunyai banyak pilihan pemain, sehingga Fergie tidak dimainkan pada pertandingan final dan Dunfermline harus menelan kekalahan.

Faktor kekalahan Dunfermline gara- gara Fergie tidak dimainkan bisa jadi ada benarnya. Selama perjalanan menuju final, Fergie adalah Top skor bagi timnya. Tapi yang menjadi masalah adalah cara manajer tim memperlakukan Fergie. Keputusan dirinya tidak main keluar kurang dari sejam sebelum pertandingan. Tensi yang kemudian meningkat gara- gara kejadian itu ternyata berpengaruh sedikit ke permainan tim. Pemain lain yang rata- rata mendukung Fergie harus rela kehilangan pemain andalan mereka.

Kejadian ini juga yang membuat Fergie mendapatkan filosofi bagaimana menjadi seorang manajer tim yang baik. Seorang manjer tim yang baik nggak akan menjatuhkan pemain yang berada dalam kondisi Top form-nya. Kalopun ada keputusan nggak akan memainkan dalam sebuah pertandingan, sebisa mungkin didiskusikan terlebih dahulu dengan pemain bersangkutan. Dengan begitu hubungan antara manajer tim dengan pemain akan tetap terjalin baik.

II . Resep Menjadi Manajer Sukses Ala Alex Ferguson
Masih inget teori umum soal manajer tim sepakbola legendaris Inggris ? Teori ini menyebutkan mereka punya latar belakang yang sama. Yaitu berasal dari lingkungan kaum pekerja atau buruh . Beberapa contoh diantaranya adalah Jock Stein, Sir Matt Busby, Bill Shankly, serta Bob Paisley.

Ini diakui oleh Sir Alex Ferguson. Ada hal- hal tertentu dan kemampuan yang nggak bisa didapat cuma melalui pelatihan atau pengalaman dilapangan sepak bola saja. Besar dilingkungan kaum pekerja bisa dibilang menguntungkan bagi calon manajer tim sepak bola.
Daripada menghabiskan waktu di tempat training center , interaksi khusus dilingkungan kaum pekerja merupakan modal untuk mengenal karakter seseorang secara tepat. Fergie sepakat dengan hal ini. Dia sendiri berasal dari lingkungan kaum pekerja.

Talenta Fergie yang paling utama adalah sebagai manajer tim bukan semata kemampuan teknis, strategi, atau taktik. Tapi kemampuan berinteraksi secara intens dengan setiap pemain serta gagasan- gagasan cemerlang soal permainan tim . Nggak heran karirnya sebagai manajer yang sukses menanjak dengan cepat.

II.1. Karakter Alex Ferguson

Alex Ferguson adalah figur yang membenci kekalahan . Rasa pahit akibat kekalahan , hanya akan membuat Fergie mengerahkan seluruh daya dan upaya untuk menghindarinya di masa yang akan datang . Beberapa rival mengatakan bahwa Fergie adalah sosok angkuh dan tidak bisa menerima kekalahan , tapi mereka tidak menyadari bahwa ini adalah hal yang membuat Fergie menjadi sosok manajer yang besar . Hal tersebut juga menunjukkan seberapa besar Fergie ingin meraih kemenangan di dalam sebuah pertandingan .

Ketika Fergie meraih sebuah kesuksesan , dia tidak pernah berhenti untuk beristirahat . Fergie selalu melihat ke masa depan dan memasang target sebuah kesuksesan , dan tidak pernah puas atas hasil yg sudah dicapai di masa lampau . Rasa lapar atas sebuah kesuksesan lah yang membuat Fergie berada di puncak daftar Manajer kelas wahid , dan saat dimana Fergie pensiun dari Manchester United akan menjadi saat dimana Red Army akan mengalami rasa kehilangan yang demikian besar .

II.2. Strategi dan Manajemen Pemain Ala Ferguson

Ferguson adalah seorang Manajer yang mempunyai pendekatan taktik yang brilian dan tidak takut untuk mengikuti intuisinya atau mengambil resiko . Insting dari Fergie , pada suatu ketika tampak seperti sebuah keberuntungan , dan di sisi yang lain tampak berjalan seperti hal yang normal . Dia sadar , bahwa untuk memenangi sebuah pertarungan , sebuah kesempatan harus diambil dengan cepat dan tidak jarang sebuah resiko harus diambil di tengah perjalanan .

Fergie mengambil resiko dengan membeli Eric Cantona , Ole Gunnar Solksjaer , Cristiano Ronaldo , Anderson , dan Javier Hernandez di saat nama mereka belum terkenal . Dan The Gaffer adalah sosok yang sekaligus mematahkan ungkapan seorang Pundit bernama Alan Hansen (yang juga mantan pemain Liverpool) yaitu “You’ll Never Win Anything With Kids” . Kisah sukses Class of 1992 dari Akademi Carrington , di musim 1995/1996 , membuat Hansen menelan kata-katanya sendiri .

Selain itu , Fergie merupakan sosok motivator ulung . Ungkapan Fergie pada istirahat babak pertama final UCL 1999 menunjukkan hal tersebut, yaitu kalimat sarat makna “At the end of this game, the European Cup will be only six feet away from you and you’ll not even able to touch it if we lose.” . Dan apa yang terjadi di menit-menit Injury Time final UCL 1999 adalah sebuah sejarah .

Sementara , kemampuan Fergie dalam menghadapi skandal yang dialami pemainnya , seperti insiden Tendangan Kungfu Eric Cantona , kasus kartu merah David Beckham di Piala Dunia 1998 , dan perselisihan Cristiano Ronaldo – Wayne Rooney di Piala Dunia 2006 . adalah bukti sahih bahwa Fergie adalah pribadi yang melindungi anak asuhnya selayaknya seorang Bapak kepada anak laki-lakinya .

II.3. Transfer Ilmu Dari Mentor atau Pelatih Lain

Fergie mempelajari kemampuan non teknis dalam membangun sebuah tim sepak bola dari sosok manajer legendaris yang paling dihormati sejagad Skotlandia, Jock Stein. Sosok ini sekaligus menjadi idolanya, dan mentor yang paling dihormati sampai menjelang ajalnya .

Kekaguman Fergie terhadap Jock Stein bukan berdasarkan prestasi fenomenal yang diciptakannya. Bukan juga prestasi Jock Stein yang membuat Glasgow Celtic meraih gelar liga 9 kali berturut –turut. Atau sejarah yang diciptakan saat Glasgow Celtic menjadi juara Eropa buat pertama kalinya. Tapi kemampuan membentuk tim solid yang hanya terdiri dari talenta lokal untuk mengalahkan raksasa- raksasa Eropa yang bertaburan bintang.

Di mata Fergie, Jock Stein adalah guru. Bahkan diawal karirnya sebagai pelatih , Fergie selalu mengincar posisi menjadi asisten Jock Stein. Niatnya terwujud setelah Fergie membuktikan bakatnya sebagai manajer sukses saat menangani klub Aberdeen. Klub ini berhasil meraih gelar juara Liga , Piala Skotlandia, serta gelar Winners Cup. Jock Stein yang saat itu mendapat tugas menangani timnas Skotlandia pun meliriknya , dan memilih Fergie untuk menempati posisi sebagai asisten Manajer .

Yang pertama kali dipelajari Fergie dari Jock Stein adalah pengaruhnya yang sangat besar. Kehadirannya selalu terasa dimana pun berada. Para pemain seolah mendapat kebanggaan bila Stein menyapanya.

Begitu pula yang selama ini dilakukan Fergie sebagai seorang pelatih. Dia berusaha memposisikan dirinya menjadi sosok yang paling berkuasa. Tidak ada seorang pemain pun yang bisa sembarangan sok akrab dengannya. Di sisi lain, dia juga berusaha untuk membangun jaringan. Komunikasi dijalankan dengan baik dengan pemain maupun asisten , sehingga Fergie selalu bisa mendapat informasi akurat soal timnya setiap saat.

Dan pelajaran lain yang bisa diambil Fergie adalah cara Stein membentuk tim sesuai keinginannya. Dari Jock Stein, Fergie belajar taktik. Caranya dengan mengajukan saran yang dibuat sedemikian rupa, sehingga pemilik klub tidak berkutik. Begitu petinggi klub disodorkan sejumlah pemain pilihan yang diajukan Fergie, kebanyakan ujungnya mereka nggak punya pilihan. Mau nggak mau mengikuti kemauan Fergie. Cara ini pula yang dilakukan Stein saat membentuk tim Glasgow Celtic yang solid.